BAB 2
RUANG LINGKUP PENGERTIAN HAK-HAK
ASASI MANUSIA DAN “EUTHANASIA”
A. Hak-hak
Asasi Manusia dan Perkembangannya
Dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, sehari-hari sering kita mendengar istilah “ Asasi Manusia” atau biasa disebut dengan
istilah human rights, natural rights, basic and indubitable freedoms,
fundamental right, civil rights dan lain-lain. Apabila kita berbicara tentang
hak asasi manusia, akan seluruh dunia, termasuk Indonesia, orang selalu
menunjuk kepada universal declaration of human rights yang dilahirkan perserikatan
bangsa-bangsa pada 10 desember
1948 dalam sidangnya diparis. Namun sebetulnya berabad-abad sebelum lahirnya
deklarasi PBB tentang hakn asasi manusia tersebut, manusia diberbagai pelosok
dunia telah memperjuangkan prinsip bahwa manusia itu dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama
Menurut penyelidikan ilimu pengetahuan,
sejarah hak-hak asasi manusia itu baru tumbuh dan berkembang pada waktu hak-hak
asasi itu oleh manusia mulai diperhatikan dan diperjuangkan terhadap serangan
atau bahaya, yang timbul dari kekuasaan yang dimiliki oleh kesatuan masyarakat,
yang disebut “Negara” (staat).
Didalam susunan negara
modern, hak-hak dan kebebasan asasi manusia itu dilindungi dalam undang-undang,
dan menjadi hukum positif tertulis.
Apabila kita menengok
ke belakang, sebelum diprolamirkannya universal declration of human rights,
kita telah mengenal dokumen-dokumen hukum khusus dii Iggris, Amerika dan
Perancis sebagai perintis kea rah diakuinya hak-hak asasi manusia oleh PBB.
Dari sekian banyak
dokumen-dokumen tentang hak asasi manusia dapat diambil 3 diantaranya yang
terpenting yaitu
1.
Delcaration Of Independence (1776) di
Amerika
Sejak
timbulnya deklarasi, adalah merupakan saat yang sangat penting bagin perkembangan
hak-hak asasi manusia dimana saat Human Rights itu ditetapkan atau dirumuskan
Perumusan
hak-hak asasi manusia secara resmi dalam suatu deklarasi, adalah untuk pertama
kali didunia yang kemudian declaration of independence yersebut menjadi dasar
pokok bagi konstitusi negara Amerika Serikat.
2.
Delaration des Droits de’I Homme et du Citoyen (1789) di
Perancis
Deklarasi
ini timbul sebagai akibat adanya revolusi prancis yang sedang memuncak pada
waktu itu. Sebagai akhir daripada perjuangan rakyat prancis itu, Maka berhasil
ditetapkan hak-hak asasi manusia dalam deklarasi tersebut, Yang ditetapkan oleh
Assemblee Nationale prancis. Kemudian pada tahun 1791, dimasukkan ke dalam
konstitusi perancis.
Tujuan
revolusi yang besar tersebut juga berpengaruh keseluruh dunia, ialah antara
lain untuk memperoleh jaminan hak-hak asasi manusia dalam perlindungan
Undang-undang Negara, seperti ternyata dalam semboyan revolusinya yang
bertrisloganda, yaitu:
a. Liberte
( kemerdekaan )
b. Egalite
( kesamarataan ), dan
c. Fraternite
( kerukunan atau persaudaraan )
Kemudian
di dalam mukadimah dari Declaration des droits de’I Homme et du citoyen itu
dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai apa yang dimaksud denga hak-hak asasi manusia,
yaitu bahwa:
“Hak-hak
asasi manusia ialah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak
dapat dipisahkan daripada hakekatnya dank arena itu bersifat suci“.
3.
The Four Freedoms Of F. D Roosevelt
(19941) di Amerika
Pada
permulaan dunia II, presiden Amerika Serikat F. D Roosevelt dalam amanat
(Message) kepada majelis kongres dalam
pidato yang diucapkan pada tanggal 6 Januari 1941, telah menganjurkan bahwa
terhadap tindakan agresi Nazi-Jerman untuk menginjak-injak hak-hak asasi
manusia, harus dipertahankan 4 kebebasan sebagai berikut :
a. Freedoms
Of Speech ( Kebebasan mengutarakan pendapat)
b. Freedoms
Of Religion (Kebebasan Beragama)
c. Freedoms
From Fear (Kebebasan dari ketakutan)
d. Freedoms
From Want (Kebebasan dari kekurangan)
Dari
apa yang telah dituangkan oleh F. D Roosevelt tersebut ternyata pandangannya
itu sangat menjiwai daripada tercetusnya universal declaration of human rights
dari PBB.
Kemudian
diterimalah universal declaration of human rights pada tanggal 10 desember 1948
seperti yang telah disebutkan dimuka. Peristiwa bersejarah ini diperingati tiap
tahun oleh seluruh Negara anggota PBB sampai sekarang.
B. Hak-hak
Asasi Manuisa di Indonesia
Undang-undang Dasar
1945 merupakan dasar dari segala pereturan perundangan yang ada di Indonesia.
Begitu pula pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber tertib hokum
Indonesia, sesuai dengan TAP MPR No. IX/MPR/78 JO TAP MPR No. V/MPR/73 JO TAP
MPRS No. XX/MPRS/66.
Undang-undang Dasar
1945 yang terdiri dari pembukaan yang memuat pancasila dan batang tubuh, lahir
3,5 tahun sebelum lahirnya universal declaration of human rights. Bunyinya
pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea pertama maka nyatalah dengan teranmg
adanya hubungan pokok antara pancasila dan HAM, khususnya Hak Asasi Kemerdekaan
segala bangsa.
Perumusan sila pertama
dari pancasila ini lebih lanjut diselenggarakan dalam pasal 29 UUD 1945, dimana
dinyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan penduduknya u8ntuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu. Dari uraian tersebut diatas, jelas kiranya bahwa antara HAM, Pancasila,
dan UUD 1945 erat sekali hubungannya.
Seperti telah
dijelaskan terdahulu, bahwa yang sangat memperngaruhi dan menjiwai deklarasi
PBB tentang HAM, adalah The Four Fredoms Of F. D Roosevelt yang merupakan
tonggak-tonggak dalam perjuangan pengekuan HAM dalam zaman modern.
Beberapa pasal dalam
UUD 1945 memuat sementara HAM, yaitu yang tercantum dalam pasal-pasal : 27, 28,
29, 30, 31, 32, 33 dan pasal 34 UUD 1945. Dari uraian diatas, dapat diambil
kesimpulan bahwa walaupun UUD 1945 termasuk penjelkasannya tergolong sevagai
Undang-undang Dasar yang paling singkat dan sederhana diseluruh dunia (hanya
terdiri ari 27 pasal, dan 4 pasal aturan peralihan, serta 2 pasal aturan
tambahan), namun telah dapat mencakup prinsip-prinsip pokok bagi penjabaran
pengakuan HAM, sebagaimana disebutkan dalam universal declaration of human
rights.
Hak-hak asasi manusia, Undang-undang
Dasar 1945 dan pancasila erat sekali hubungannya, sebab pada prinsipnya HAM
tersebut telah tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945, begitu juga dapat
dilihat pada sila-sila dalam pancasila.
C. Pengertian
Internasional Tentang The Rule Of Law
Memang menurut
sejarahnya, sebagai dicatat oleh The International Commission Of Juristis,
suatu organisasi internasional non-govermental dari para jurist yang berpusat
di Geneva, Rule of Law itu baru mulai diterima sejak permulaan abad ke-20
diberbagai Negara, terutama Negara-negara anglosaxon, antara lain Inggris.
Yang sudah kita kenal
lebih lama adalah pengertian Rechtsstaat, atau Negara hukum atau untuk meminjam
kata-kata dalam penjelasan undang-undang dasr 1945, Negara yang berdasarkan
atas hukum, sebagai kebalikan dari machtsstaat, Negara yang berdasarkan
kekuasaan belaka.
1.
Negara hukum (Rechtstaat)
Mengenai
pengertian rechtsstaat atau Negara hukum kita sudah cukup kita ketahui UUD 1945
memuat sebagai penjelasan mengenai sistem pemerintahan Negara : “Indonesia
ialah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (matchtsstaat).
2.
The Rule of Law
Konperensi-konperensi
dari the ICJ telah menetapkan pengertian, bahwa the rule of law baru terjelma,
jika law-raw dari Negara yang bersangkutan mengindahkan dan melindungi HAM.
Bagi
Indonesia, istilah kini popular itu, the rule of law, tidak lain isinya dan
konsepsinya daripada rechsstaat, Etat de, droit, Negara atau pemerintahan
berdasarkan atas hukum. Hanya biasanya konsepsi rechsstaat dianut oleh
Negara-negara dengan UUD tertutis dan the rule of law terutama dipelopori oleh
Inggris dengan sisitem common law-nya.
3.
Apakah The Rule of Law berlaku dan sudah
terlaksana di Indonesia
Presiden
itu waktu berkekuasaan absolut tidak terbatas, hal mana bertentangan dengan
penjelasan resmi UUD 1945 mengenai pasal 17 : “Kepala Negara bukan diktator,
artinya kekuasaan tidak tak terbatas”.
Di
Indonesia pemerintahan sekarang sedang menuju ke arah pelaksaan dari the rule
of law. Mudah-mudahan tidak lama lagi tertib hukum dapat terjelma, agar
pengakuan serta perlindungan HAM dapat terjamin.
D. “Euthanasia”
dan Ruang Lingkupnya
Jenis kematian menurut
cara terjadinya, meliputi apa yang disebut orthothanasia, dysthanasia, dan
euthanasia. Yang menjadi persoalan ialah jenis kematian yang ketiga, yaitu
kematian dalam kategori euthanasia atau bias disebut juga sebagai mercy
killing.
Di dalam deklarasi PBB
tentang hak-hak asasi manusia itu, yang diakui secara jelas hanyalah the right
to life.
Sebenarnya masalah
euthanasia ini timbul, yaitu dari adanya suatu dilemma diatas, apakah seorang
dokter mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seseorang pasien, atas
permintaan pasien itu sendiri atau dari keluarganya dengan dalih untuk
menghilangkan atau mengakhiri penderitaan yang berkepenjangan, tanpa dokter itu
sendiri menghadapi konsekuensi hukum.
Dalam memecahkan
masalah ini, ada yang cukup unik, yaitu bila si pasien berada dalam keadaan
moribundity atau dalam keadaan antara hidup dan mati, maka proses dan usaha
medis jika tidak berpotensi lagi, penyembuhan harus dihentikan.
Jadi dalam euthanasia
ini menyangkut the right to die dari seorang pasien. Masalah hak-hak asasi itu
bukanlah merupakan masalah juridis saja. Tetapi bersangkut paut dengan masalah
nilai-nilai etnis, moral, yang ada disuatu masyarakat tertentu. Oleh sebab itu,
masalah “hak untuk mati” yang dihadapkan sebagai kasus hukum, maka pemecahannya
haruslah disesuaikan dengan masalah moral, etnis, kondisi dan
kebiasaan-kebiasaan yang ada disuatu Negara.
E. “Euthanasia”,
“Suicide” dan Ajaran Agama
Masalah euthanasia biasanya
dikaitkan dengan masalah suicide atau bunuh diri. Dilihat dari segi agama, baik
itu agama islam, kristen, katolik, dan sebagainya maka euthanasia dan suicide
merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan dan kematian
seseorang itu adalah berasal dari pencipta-Nya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi
perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang
berasal dari yang maha esa itu, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan
kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan.
BAB 3
TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM
PIDANA POSITIF INDONESIA, ILMU KEDOKTERAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PIDANA MATI,
SERTA HAK-HAK MANUSIA
A. “Euthanasia”
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Masalah euthanasia
menyangkut soal keselamatan jiwa manusia, maka harus dicari pengaturan atau
pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati euthanasia. Maka satu-satunya
yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, guna pembahasan selanjutnya adalah
apa yang terdapat didalam kitab Undang-undang hukum pidana Indonesia, khususnya
pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut jiwa manusia.
Yang paling mendekati dengan masalah tersebut adalah peraturan hukum yang
terdapat dalam buku ke-2, bab IX pasal 344 KUHP.
Pasal
344 KUHP bunyinya dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak
diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembuuhan itu
dilakukan dengan alas an atas permintaan si korban sendiri,
Jenis euthanasia yang
pertama, kematian dapat terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan secara
cepat dan menginginkan untuk mati. Jenis euthanasia inilah yang bias disebut
sebagai euthanasia dalam arti yang pasif (permission).
Berbeda dengan jenis
euthanasia yang pertama, maka jenis euthanasia yang kedua, kematian terjadi
karena kelalaian atau kegagalan dari dokter dalam mengambil seuatu tindakan
untuk mencegah adanya kematian. Pada dasarnya euthanasia jenis yang kedua ini
adalah sama dengan jenis euthanasia yang petama. Letak perbedaanya adalah pada
tindakan mebiarkan pasien mati dengtan sendirinya tanpa mengadakan pencegahan.
Euthanasia dengan jenis
yang ketiga merupakan tindakan yang positif dari dojter untuk mempercepat
terjadinya kematian. Jadi perbedaan dengan jenis yang pertama yang bersifat
pasif, maka pada jenis yang ketiga ini bersifat aktif (causation).antara
euthanasia jenis pertama dan yang ketiga ini, sama-sama didasarkan atas
permintaan atau desakan kepada dokter dari si pasien ataupun dari keluarganya.
Masalah euthanasia ini
dapat menyangkut 2 aturan hukum, yakni pasal 338 dan pasal 344 KUHP. Dalam hal
ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, yang merupakan system
pemebrian pidana juga terjadi suatu perbuatan pidana yang masuk dalam beberapa
peraturan hukum.
Kesimpulannya, bahwa
euthanasia di Indonesia ini tetap dilarang. Larangan ini terdapat dalam pasal
344 KUHP, yang sampai sekarang ini masih berlaku.
B. “Euthanasia”
Dalam Ilmu Kedokteran
Arbortus provocatus ini
merupakan perbuatan yang dilarang, namun hal ini masih dapat diterobos oleh
seorang dokter, dengan pertimbangan untuk pengobatan, dan apabila perbuatan itu
hanya merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa si ibu dari bahaya maut.
C. Pidana
Mati “Euthanasia” dan Hak-hak Asasi Manusia
Para sarjana pun ada
yang kontra da nada pula yang pro terhadap pidana mati. Bagi pidana yang pro
pidana mati misalnya : bichonvanysselmonde, lomborsso, garovalo. Pada umumnya
mendasarkan argumentasinya bahwa pidana mati dirasakan lebih praktis, biaya
ringan, lebih pasti daripda pidana penjara yang selama ini palin banyak
dijatuhkan oleh pengadilan manapun.
Bagi sarjana-sarjana
yang kontra pidana mati misalnya : becaria,Voltaire, roslan saleh, sahetapi.
Mengemukakan bahwa masalah hidup dan mati itu bukanlah oleh pencipta-Nya yaitu
Tuhan Yang Maha Esa. Disamping itu pidana mati dianggapnya sebagai sutu halyang
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, terutama palin utama yakni “hak
untuk hidup” dari seseorang.
Negara didalam usahanya
melindungi dan mempertahankan hidup manusia, kadang-kadang justru terjadi suatu
peristiwa yang sangat kontradiktif. Dikatakan sangat kontradiktif, karena
sementara Negara melindungi hak-hak asasi manusia, terutama “hak untuk hidup”,
sementara itu pula manusia diakhiri hidupnya lewat jalan yang dianggapnya
legal, yaitu lewat pengadilan dengan menjatuhkan pidana mati.
Hidup adalah merupakan
kehendak yang paling dasar bagi setiap manusia normal. Oleh sebab itu, pidana
mati dipandanmg sebagai pelanggaran terhadap HAM. Pandangan yang menentang
adanya euthanasia yang mendasarkan dari segi religious, kiranya kurang seirama
dengan pandangan dari segi-segi HAM. Kita tahu bahwa didalam universal
declaration of human rights dari PBB telah mencatumkan sejumlah HAM. Diantara
sekian banyak HAM itu mungkin hanya hak untuk mati saja yang tidak ada.
Pandangan yang
menentang prinsip euthanasia diatas akan berbenturan argumentasinya, jika
dihubungkan dengaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh hakim. Sesuai dengan
kodrat alamnya seseorangg tertuduh yang divonis mati pada umumnya juga masih
ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya. Atau dengan perkataan lainingin
menggunakan “hak untuk hidup” –Nya.
Apabila seorang dokter
menolak permintaan mati seseorang pasien yang sangat menderita, karena sakit
yang tidak dapat disembuhkan lagi itu, merupakan suatu pelanggaran terhadap
HAM. Pelanggaran semacam ini tidak berbeda dengan pidana mati yang dijatuhkan
oleh hakim terhadap si tertuduh di depan pengadilan. Hanya saja bedanya, bahwa
dipengadilan seorang hakim telah merampas hak manusia untuk hidup, sedangkan
didalam euthanasia, seorang dokter telah merampas hak manusia untuk mati.
Kami yakin bahwa orang
itu tidak selamanya akan berbuat jahat,suatu saat dia akan sadar terhadap
perbuatan yang pernah ia lakukan. Namun apabila dijatuhkan pidana mati,
pasalnya hukum ini tidak mempunyai sifat pembinaan sama sekali, dan bahkan
tidak meberikan kesempatan kepada seseorang yang melanggarnya untuk
memperbaiki, serta tidak mempunyai rasa peri kemanusiaan, yang juga telah
menjadi dasar Negara kita, dengan dicantumkannya pada sila kedua pancasila.
Seorang tertuduh yang
dijatuhi pidana mati, hendaknya diberi kesempatan untuk menggunakan hak
asasinya, yaitu “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati”. Apabila tertuduh yang
divonis mati tersebut dianggap menerima kematian atas dirinya. Dengan demikian
ia dianggap telah menggunakan “hak untuk matinya”, dan pidana mati yang telah
dijatuhkan dapat dengan segera dieksekusi. Sebaliknya bila tertuduh menolak
putusan hakim, berarti tertuduh masih ingin hidup, karena ia telah
mempergunakan “hak untuk hidupnya”. Dengan demikian harus dicarikan jalan
keluarnya, sehingga kehidupan terdakwa ini benar-benar terlindungi oleh hukum
dan dihargai hak asasinya. Dengan diakuinya “hak untuk hdiup” dan “hak untuk
mati” dari manusia ini, dimaksudkan unyuk melindungi manusia terhadap
penganiyayan atau penyiksaan dan kekejaman serta untuk melindungi rterhadap
tindakan yang tidak berperi kemanusiaan dari sesame umat manusia.
BAB 4
PROSPEKSI PENGATURAN MASALAH
EUTHANSIA DIDALAM HUKUM PIDANA POSITIF INDONESIA
A. “Euthanasia”
, Kematian dan “Hak Untuk Mati”
Masalah “hak untuk mati” didunia,
terutama di Negara-negara maju, masa kini sangat intensif dipermasalahkan.
Masalah “hak untuk mati” atau the right to die ini berhubungan erat dengan
definisi daripada kematian.
Pada
perkembangan selanjutnya America Medical Association, tahun 1977 menyatakan
menentang suatu definisi perundang-undangan tentang kematian dengan kriteria
tersebut diatas.
Pengertian
“hak untuk mati” mencakup pula hak seseorang yang telah dewasa yang telah
“competent” untuk menolak medical treatment, sekalipun akan mengakibatkan
kematiannya. Jadi dalam hal ini merupakan hak daripada si pasien yang telah
dewas, yang harus dihormati adanya.
Euthanasia
dapat dijalankan, dengan menyatakan pelakunya mempunyai kekebalan terhadap
civil liability maupun criminal liability. Jadi euthanasia hanya dapat
dilakukan terhadap pasien yang memenuhi syarat-syarat tertentu tadi, dan tetap
dilarang bila dilakukan terhadap orang yang masih sehat, dan tidak memenuhi
syarat-syaratnya. Ini dimaksudkan dengan dibolehkannya euthanasia, agar tidak
disalahgunakan penggunaanya.
BAB 5
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari bab demi bab
sebagaimana terdapat dalam pembahasan dimuka, akhirnya dapat ditarik
kesimpulannya, sebagai berikut :
1.
Pengertian tentang hak-hak asasi manusia
adalah semua hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang yang hidup didunia
ini. Menurut kodratnya, yang melekat, dan tak dapat dipisahkan daripada
hakekatnya, sehingga bersifat suci. Perjuangan terhadap pengakuan hak-hak asasi
manusia secara universal, ternyata meemrlukan jangka waktu yang cukup lama.
Hak-hak yang dimiliki manusia tersebut rupanya semakin diabaikan oleh manusia
sendiri, sebagai akibat langsung daripada meningkatnya kemakmuran hidup
materiil dan makin cepatnya penerapan
teknologi modern. Dengan adanya kenyataan ini, maka Negara-negara yang
tergabung dalam PBB, menghendaki diasakannya perumusan secara tertulis tentang
HAM itu sendiri. Oleh sebab itulah maka pada tanggal 10 Desember 1948 dietuskan
oleh PBB dalam Universal Declaration Of Human Rightsyang terdiri dari 30 pasal
mengenai HAM tersebut.
2.
Hak-hak asasi manusia di Indonesia,
secara mendasar pengatrurannya dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pancasila, karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar dari segala
peraturan perundangan yang ada di Indonesia. Segala sesuatu yang menyangkut
soal hak dan kewajiban, memerlukan suatu tertib hukum begitu pula mengenai HAM.
Antara HAM, UUD 1945 dan Pancasila terdapat hubungan yang sangat erat sekali.
Hal ini dapat dilihat dari pembukaan UUD 1945 yang pada alinea pertamanya lebih
menonjolkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan olrh sebab itu maka
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. UUD 1945 telah dapat mencakup prinsip-prinsip
pokok bagi pengakuan hak-hak asasi manusia, seperti yang tersebut dalam
“Universal Declaration Of Human Rights”
3.
Hak asasi manusia yang terutama adalah “hak
untuk hidup”. Adanya the right to life ini dimaksudkan untuk melindungi nyawa
seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang lain. Oleh karena itu
masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena
pertolongan dokter atas permintaan pasien tersendiriatau keluarganya ataupun
tindakan dokter yang membiarkan saja kepada pasien yang sedang sakit tanpa
menentu itu, dianggap sebagai pelanggaran terhadap the right to life yang
dimiliki oleh si pasien. Dalam hubungan ini, maka euthanasia dalam keadaan
tertentu diperbolehkan untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia,
masalah euthanasia ini tetap dilarang. Masalah HAM ini bukanlah merupakan
masalah juridis semata-mata tetapi juga bersngkut-paut dengan masalah
nilai-nilai etihis, moral yang ada disuatu masyarakat tertentu.
4.
Masalah euthanasia yang biasa dikaitkan
dengan suicide bila ditinjau dari dari segi agama jelas dinyatakan sebagai
suatu perbuatan yang terlarang.
5.
Pengaturan masalah euthanasia di
Indonesia, satu-satunya hanya terdapat dalam pasal 344 KUHP.
B. Saran-saran
1.
Secara garis besar, HAM sebagaimana
tercantum dalam Universal Declaration of Human Righttelah tercakup
prinsip-prinsip pokonya didalam UUD 1945 dan berbagai perundang-undangan
Republik Indonesia lainnyayang merupakan hukum positif. Namun HAM tersebut saat
ini baru merupakan moral rights dan belum merupakan positive rights yang dapat
dituntut penaaatannya baik didalam maupun di luar pengadilan. Dalam
undang-undang maupun dalam praktek hukum seghri-hari Indonesia benar-benar
adalah Negara Hukum yang menghormati HAM.
2.
Indonesia tidak menganut prinsip
euthanasia, yang berarti pula tidak mengakui the righ to die dari seseorang
pasien.hal ini didasarkan atas alas an religious, bahwa masalah mati ini adalah
kekuasaan mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa. Jadi Indonesia hanya mengkaui adanya
the right to life saja yang sesuai dengan prinsip etik kedokteran Indonesia,
yang selalu menghormati setiap hidup insani mulai saat terjadi pembuahan.
disampin itu pidana mati dirasakan telah melanggar right to life dari warga
Negara, yang selama ini sangat dihormati oleh Negara, baik nasional maupun
internasional.
3.
Seandainya pidana mati tetap untuk
dipertahankan di Indonesia, sebaiknya antara Pengadilan dan dunia kedokteran
supaya agar disejajarkan, walaupun tidak secara mutlak.
4.
Agar supaya pasal 344 KUHP dapat
diterapkan dalam praktek, maka sebaliknya dalam rangka ius constituendum hukum
pidana, maka rumusan pasal 344 KUHP yang ada sekarang ini,perlu untuk
dirumuskan kembali sehingga pasal 344 KUHP ini terasa lebih hidup dan dapat
memudahkan bagi penuntut umum dalam pembuktiannya.