Cute's Popular

Kamis, 14 Maret 2013

RUANG LINGKUP PENGERTIAN HAK-HAK ASASI MANUSIA DAN “EUTHANASIA”


BAB 2
RUANG LINGKUP PENGERTIAN HAK-HAK ASASI MANUSIA DAN “EUTHANASIA”

A.    Hak-hak Asasi Manusia dan Perkembangannya
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehari-hari sering kita mendengar istilah “  Asasi Manusia” atau biasa disebut dengan istilah human rights, natural rights, basic and indubitable freedoms, fundamental right, civil rights dan lain-lain. Apabila kita berbicara tentang hak asasi manusia, akan seluruh dunia, termasuk Indonesia, orang selalu menunjuk kepada universal declaration of human rights yang dilahirkan perserikatan bangsa-bangsa pada 10 desember 1948 dalam sidangnya diparis. Namun sebetulnya berabad-abad sebelum lahirnya deklarasi PBB tentang hakn asasi manusia tersebut, manusia diberbagai pelosok dunia telah memperjuangkan prinsip bahwa manusia itu dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama
Menurut penyelidikan ilimu pengetahuan, sejarah hak-hak asasi manusia itu baru tumbuh dan berkembang pada waktu hak-hak asasi itu oleh manusia mulai diperhatikan dan diperjuangkan terhadap serangan atau bahaya, yang timbul dari kekuasaan yang dimiliki oleh kesatuan masyarakat, yang disebut “Negara” (staat).
Didalam susunan negara modern, hak-hak dan kebebasan asasi manusia itu dilindungi dalam undang-undang, dan menjadi hukum positif tertulis.
Apabila kita menengok ke belakang, sebelum diprolamirkannya universal declration of human rights, kita telah mengenal dokumen-dokumen hukum khusus dii Iggris, Amerika dan Perancis sebagai perintis kea rah diakuinya hak-hak asasi manusia oleh PBB.
Dari sekian banyak dokumen-dokumen tentang hak asasi manusia dapat diambil 3 diantaranya yang terpenting yaitu


1.      Delcaration Of Independence (1776) di Amerika
Sejak timbulnya deklarasi, adalah merupakan saat yang sangat penting bagin perkembangan hak-hak asasi manusia dimana saat Human Rights itu ditetapkan atau dirumuskan
Perumusan hak-hak asasi manusia secara resmi dalam suatu deklarasi, adalah untuk pertama kali didunia yang kemudian declaration of independence yersebut menjadi dasar pokok bagi konstitusi negara Amerika Serikat.
2.      Delaration  des Droits de’I Homme et du Citoyen (1789) di Perancis
Deklarasi ini timbul sebagai akibat adanya revolusi prancis yang sedang memuncak pada waktu itu. Sebagai akhir daripada perjuangan rakyat prancis itu, Maka berhasil ditetapkan hak-hak asasi manusia dalam deklarasi tersebut, Yang ditetapkan oleh Assemblee Nationale prancis. Kemudian pada tahun 1791, dimasukkan ke dalam konstitusi perancis.
Tujuan revolusi yang besar tersebut juga berpengaruh keseluruh dunia, ialah antara lain untuk memperoleh jaminan hak-hak asasi manusia dalam perlindungan Undang-undang Negara, seperti ternyata dalam semboyan revolusinya yang bertrisloganda, yaitu:
a.       Liberte ( kemerdekaan )
b.      Egalite ( kesamarataan ), dan
c.       Fraternite ( kerukunan atau persaudaraan )
Kemudian di dalam mukadimah dari Declaration des droits de’I Homme et du citoyen itu dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai apa yang dimaksud denga hak-hak asasi manusia, yaitu bahwa:
“Hak-hak asasi manusia ialah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan daripada hakekatnya dank arena itu bersifat suci“.         
3.      The Four Freedoms Of F. D Roosevelt (19941) di Amerika
Pada permulaan dunia II, presiden Amerika Serikat F. D Roosevelt dalam amanat (Message) kepada majelis  kongres dalam pidato yang diucapkan pada tanggal 6 Januari 1941, telah menganjurkan bahwa terhadap tindakan agresi Nazi-Jerman untuk menginjak-injak hak-hak asasi manusia, harus dipertahankan 4 kebebasan sebagai berikut :
a.       Freedoms Of Speech ( Kebebasan mengutarakan pendapat)
b.      Freedoms Of Religion (Kebebasan Beragama)
c.       Freedoms From Fear (Kebebasan dari ketakutan)
d.      Freedoms From Want (Kebebasan dari kekurangan)
Dari apa yang telah dituangkan oleh F. D Roosevelt tersebut ternyata pandangannya itu sangat menjiwai daripada tercetusnya universal declaration of human rights dari PBB.
Kemudian diterimalah universal declaration of human rights pada tanggal 10 desember 1948 seperti yang telah disebutkan dimuka. Peristiwa bersejarah ini diperingati tiap tahun oleh seluruh Negara anggota PBB sampai sekarang.

B.     Hak-hak Asasi Manuisa di Indonesia
Undang-undang Dasar 1945 merupakan dasar dari segala pereturan perundangan yang ada di Indonesia. Begitu pula pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber tertib hokum Indonesia, sesuai dengan TAP MPR No. IX/MPR/78 JO TAP MPR No. V/MPR/73 JO TAP MPRS No. XX/MPRS/66.
Undang-undang Dasar 1945 yang terdiri dari pembukaan yang memuat pancasila dan batang tubuh, lahir 3,5 tahun sebelum lahirnya universal declaration of human rights. Bunyinya pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea pertama maka nyatalah dengan teranmg adanya hubungan pokok antara pancasila dan HAM, khususnya Hak Asasi Kemerdekaan segala bangsa.
Perumusan sila pertama dari pancasila ini lebih lanjut diselenggarakan dalam pasal 29 UUD 1945, dimana dinyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan penduduknya u8ntuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Dari uraian tersebut diatas, jelas kiranya bahwa antara HAM, Pancasila, dan UUD 1945 erat sekali hubungannya.
Seperti telah dijelaskan terdahulu, bahwa yang sangat memperngaruhi dan menjiwai deklarasi PBB tentang HAM, adalah The Four Fredoms Of F. D Roosevelt yang merupakan tonggak-tonggak dalam perjuangan pengekuan HAM dalam zaman modern.
Beberapa pasal dalam UUD 1945 memuat sementara HAM, yaitu yang tercantum dalam pasal-pasal : 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33 dan pasal 34 UUD 1945. Dari uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa walaupun UUD 1945 termasuk penjelkasannya tergolong sevagai Undang-undang Dasar yang paling singkat dan sederhana diseluruh dunia (hanya terdiri ari 27 pasal, dan 4 pasal aturan peralihan, serta 2 pasal aturan tambahan), namun telah dapat mencakup prinsip-prinsip pokok bagi penjabaran pengakuan HAM, sebagaimana disebutkan dalam universal declaration of human rights.
Hak-hak asasi manusia, Undang-undang Dasar 1945 dan pancasila erat sekali hubungannya, sebab pada prinsipnya HAM tersebut telah tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945, begitu juga dapat dilihat pada sila-sila dalam pancasila.

C.     Pengertian Internasional Tentang The Rule Of Law
Memang menurut sejarahnya, sebagai dicatat oleh The International Commission Of Juristis, suatu organisasi internasional non-govermental dari para jurist yang berpusat di Geneva, Rule of Law itu baru mulai diterima sejak permulaan abad ke-20 diberbagai Negara, terutama Negara-negara anglosaxon, antara lain Inggris.
Yang sudah kita kenal lebih lama adalah pengertian Rechtsstaat, atau Negara hukum atau untuk meminjam kata-kata dalam penjelasan undang-undang dasr 1945, Negara yang berdasarkan atas hukum, sebagai kebalikan dari machtsstaat, Negara yang berdasarkan kekuasaan belaka.
1.      Negara hukum (Rechtstaat)
Mengenai pengertian rechtsstaat atau Negara hukum kita sudah cukup kita ketahui UUD 1945 memuat sebagai penjelasan mengenai sistem pemerintahan Negara : “Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (matchtsstaat).
2.      The Rule of Law
Konperensi-konperensi dari the ICJ telah menetapkan pengertian, bahwa the rule of law baru terjelma, jika law-raw dari Negara yang bersangkutan mengindahkan dan melindungi HAM.
Bagi Indonesia, istilah kini popular itu, the rule of law, tidak lain isinya dan konsepsinya daripada rechsstaat, Etat de, droit, Negara atau pemerintahan berdasarkan atas hukum. Hanya biasanya konsepsi rechsstaat dianut oleh Negara-negara dengan UUD tertutis dan the rule of law terutama dipelopori oleh Inggris dengan sisitem common law-nya.
3.      Apakah The Rule of Law berlaku dan sudah terlaksana di Indonesia
Presiden itu waktu berkekuasaan absolut tidak terbatas, hal mana bertentangan dengan penjelasan resmi UUD 1945 mengenai pasal 17 : “Kepala Negara bukan diktator, artinya kekuasaan tidak tak terbatas”.
Di Indonesia pemerintahan sekarang sedang menuju ke arah pelaksaan dari the rule of law. Mudah-mudahan tidak lama lagi tertib hukum dapat terjelma, agar pengakuan serta perlindungan HAM dapat terjamin.

D.    “Euthanasia” dan Ruang Lingkupnya
Jenis kematian menurut cara terjadinya, meliputi apa yang disebut orthothanasia, dysthanasia, dan euthanasia. Yang menjadi persoalan ialah jenis kematian yang ketiga, yaitu kematian dalam kategori euthanasia atau bias disebut juga sebagai mercy killing.
Di dalam deklarasi PBB tentang hak-hak asasi manusia itu, yang diakui secara jelas hanyalah the right to life.
Sebenarnya masalah euthanasia ini timbul, yaitu dari adanya suatu dilemma diatas, apakah seorang dokter mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seseorang pasien, atas permintaan pasien itu sendiri atau dari keluarganya dengan dalih untuk menghilangkan atau mengakhiri penderitaan yang berkepenjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum.
Dalam memecahkan masalah ini, ada yang cukup unik, yaitu bila si pasien berada dalam keadaan moribundity atau dalam keadaan antara hidup dan mati, maka proses dan usaha medis jika tidak berpotensi lagi, penyembuhan harus dihentikan.
Jadi dalam euthanasia ini menyangkut the right to die dari seorang pasien. Masalah hak-hak asasi itu bukanlah merupakan masalah juridis saja. Tetapi bersangkut paut dengan masalah nilai-nilai etnis, moral, yang ada disuatu masyarakat tertentu. Oleh sebab itu, masalah “hak untuk mati” yang dihadapkan sebagai kasus hukum, maka pemecahannya haruslah disesuaikan dengan masalah moral, etnis, kondisi dan kebiasaan-kebiasaan yang ada disuatu Negara.

E.     “Euthanasia”, “Suicide” dan Ajaran Agama
Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah suicide atau bunuh diri. Dilihat dari segi agama, baik itu agama islam, kristen, katolik, dan sebagainya maka euthanasia dan suicide merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu adalah berasal dari pencipta-Nya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang berasal dari yang maha esa itu, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan.






BAB 3
TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM PIDANA POSITIF INDONESIA, ILMU KEDOKTERAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PIDANA MATI, SERTA HAK-HAK MANUSIA

A.    “Euthanasia” Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Masalah euthanasia menyangkut soal keselamatan jiwa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati euthanasia. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, guna pembahasan selanjutnya adalah apa yang terdapat didalam kitab Undang-undang hukum pidana Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Yang paling mendekati dengan masalah tersebut adalah peraturan hukum yang terdapat dalam buku ke-2, bab IX pasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP bunyinya dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembuuhan itu dilakukan dengan alas an atas permintaan si korban sendiri,
Jenis euthanasia yang pertama, kematian dapat terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan secara cepat dan menginginkan untuk mati. Jenis euthanasia inilah yang bias disebut sebagai euthanasia dalam arti yang pasif (permission).
Berbeda dengan jenis euthanasia yang pertama, maka jenis euthanasia yang kedua, kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan dari dokter dalam mengambil seuatu tindakan untuk mencegah adanya kematian. Pada dasarnya euthanasia jenis yang kedua ini adalah sama dengan jenis euthanasia yang petama. Letak perbedaanya adalah pada tindakan mebiarkan pasien mati dengtan sendirinya tanpa mengadakan pencegahan.
Euthanasia dengan jenis yang ketiga merupakan tindakan yang positif dari dojter untuk mempercepat terjadinya kematian. Jadi perbedaan dengan jenis yang pertama yang bersifat pasif, maka pada jenis yang ketiga ini bersifat aktif (causation).antara euthanasia jenis pertama dan yang ketiga ini, sama-sama didasarkan atas permintaan atau desakan kepada dokter dari si pasien ataupun dari keluarganya.
Masalah euthanasia ini dapat menyangkut 2 aturan hukum, yakni pasal 338 dan pasal 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, yang merupakan system pemebrian pidana juga terjadi suatu perbuatan pidana yang masuk dalam beberapa peraturan hukum.
Kesimpulannya, bahwa euthanasia di Indonesia ini tetap dilarang. Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP, yang sampai sekarang ini masih berlaku.

B.     “Euthanasia” Dalam Ilmu Kedokteran
Arbortus provocatus ini merupakan perbuatan yang dilarang, namun hal ini masih dapat diterobos oleh seorang dokter, dengan pertimbangan untuk pengobatan, dan apabila perbuatan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa si ibu dari bahaya maut.

C.     Pidana Mati “Euthanasia” dan Hak-hak Asasi Manusia
Para sarjana pun ada yang kontra da nada pula yang pro terhadap pidana mati. Bagi pidana yang pro pidana mati misalnya : bichonvanysselmonde, lomborsso, garovalo. Pada umumnya mendasarkan argumentasinya bahwa pidana mati dirasakan lebih praktis, biaya ringan, lebih pasti daripda pidana penjara yang selama ini palin banyak dijatuhkan oleh pengadilan manapun.
Bagi sarjana-sarjana yang kontra pidana mati misalnya : becaria,Voltaire, roslan saleh, sahetapi. Mengemukakan bahwa masalah hidup dan mati itu bukanlah oleh pencipta-Nya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Disamping itu pidana mati dianggapnya sebagai sutu halyang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, terutama palin utama yakni “hak untuk hidup” dari seseorang.
Negara didalam usahanya melindungi dan mempertahankan hidup manusia, kadang-kadang justru terjadi suatu peristiwa yang sangat kontradiktif. Dikatakan sangat kontradiktif, karena sementara Negara melindungi hak-hak asasi manusia, terutama “hak untuk hidup”, sementara itu pula manusia diakhiri hidupnya lewat jalan yang dianggapnya legal, yaitu lewat pengadilan dengan menjatuhkan pidana mati.
Hidup adalah merupakan kehendak yang paling dasar bagi setiap manusia normal. Oleh sebab itu, pidana mati dipandanmg sebagai pelanggaran terhadap HAM. Pandangan yang menentang adanya euthanasia yang mendasarkan dari segi religious, kiranya kurang seirama dengan pandangan dari segi-segi HAM. Kita tahu bahwa didalam universal declaration of human rights dari PBB telah mencatumkan sejumlah HAM. Diantara sekian banyak HAM itu mungkin hanya hak untuk mati saja yang tidak ada.
Pandangan yang menentang prinsip euthanasia diatas akan berbenturan argumentasinya, jika dihubungkan dengaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh hakim. Sesuai dengan kodrat alamnya seseorangg tertuduh yang divonis mati pada umumnya juga masih ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya. Atau dengan perkataan lainingin menggunakan “hak untuk hidup” –Nya.
Apabila seorang dokter menolak permintaan mati seseorang pasien yang sangat menderita, karena sakit yang tidak dapat disembuhkan lagi itu, merupakan suatu pelanggaran terhadap HAM. Pelanggaran semacam ini tidak berbeda dengan pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim terhadap si tertuduh di depan pengadilan. Hanya saja bedanya, bahwa dipengadilan seorang hakim telah merampas hak manusia untuk hidup, sedangkan didalam euthanasia, seorang dokter telah merampas hak manusia untuk mati.
Kami yakin bahwa orang itu tidak selamanya akan berbuat jahat,suatu saat dia akan sadar terhadap perbuatan yang pernah ia lakukan. Namun apabila dijatuhkan pidana mati, pasalnya hukum ini tidak mempunyai sifat pembinaan sama sekali, dan bahkan tidak meberikan kesempatan kepada seseorang yang melanggarnya untuk memperbaiki, serta tidak mempunyai rasa peri kemanusiaan, yang juga telah menjadi dasar Negara kita, dengan dicantumkannya pada sila kedua pancasila.
Seorang tertuduh yang dijatuhi pidana mati, hendaknya diberi kesempatan untuk menggunakan hak asasinya, yaitu “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati”. Apabila tertuduh yang divonis mati tersebut dianggap menerima kematian atas dirinya. Dengan demikian ia dianggap telah menggunakan “hak untuk matinya”, dan pidana mati yang telah dijatuhkan dapat dengan segera dieksekusi. Sebaliknya bila tertuduh menolak putusan hakim, berarti tertuduh masih ingin hidup, karena ia telah mempergunakan “hak untuk hidupnya”. Dengan demikian harus dicarikan jalan keluarnya, sehingga kehidupan terdakwa ini benar-benar terlindungi oleh hukum dan dihargai hak asasinya. Dengan diakuinya “hak untuk hdiup” dan “hak untuk mati” dari manusia ini, dimaksudkan unyuk melindungi manusia terhadap penganiyayan atau penyiksaan dan kekejaman serta untuk melindungi rterhadap tindakan yang tidak berperi kemanusiaan dari sesame umat manusia.















BAB 4
PROSPEKSI PENGATURAN MASALAH EUTHANSIA DIDALAM HUKUM PIDANA POSITIF INDONESIA


A.    “Euthanasia” , Kematian dan “Hak Untuk Mati”
Masalah “hak untuk mati” didunia, terutama di Negara-negara maju, masa kini sangat intensif dipermasalahkan. Masalah “hak untuk mati” atau the right to die ini berhubungan erat dengan definisi daripada kematian.
      Pada perkembangan selanjutnya America Medical Association, tahun 1977 menyatakan menentang suatu definisi perundang-undangan tentang kematian dengan kriteria tersebut diatas.
      Pengertian “hak untuk mati” mencakup pula hak seseorang yang telah dewasa yang telah “competent” untuk menolak medical treatment, sekalipun akan mengakibatkan kematiannya. Jadi dalam hal ini merupakan hak daripada si pasien yang telah dewas, yang harus dihormati adanya.
      Euthanasia dapat dijalankan, dengan menyatakan pelakunya mempunyai kekebalan terhadap civil liability maupun criminal liability. Jadi euthanasia hanya dapat dilakukan terhadap pasien yang memenuhi syarat-syarat tertentu tadi, dan tetap dilarang bila dilakukan terhadap orang yang masih sehat, dan tidak memenuhi syarat-syaratnya. Ini dimaksudkan dengan dibolehkannya euthanasia, agar tidak disalahgunakan penggunaanya.









BAB 5
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari bab demi bab sebagaimana terdapat dalam pembahasan dimuka, akhirnya dapat ditarik kesimpulannya, sebagai berikut :
1.      Pengertian tentang hak-hak asasi manusia adalah semua hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang yang hidup didunia ini. Menurut kodratnya, yang melekat, dan tak dapat dipisahkan daripada hakekatnya, sehingga bersifat suci. Perjuangan terhadap pengakuan hak-hak asasi manusia secara universal, ternyata meemrlukan jangka waktu yang cukup lama. Hak-hak yang dimiliki manusia tersebut rupanya semakin diabaikan oleh manusia sendiri, sebagai akibat langsung daripada meningkatnya kemakmuran hidup materiil dan makin cepatnya  penerapan teknologi modern. Dengan adanya kenyataan ini, maka Negara-negara yang tergabung dalam PBB, menghendaki diasakannya perumusan secara tertulis tentang HAM itu sendiri. Oleh sebab itulah maka pada tanggal 10 Desember 1948 dietuskan oleh PBB dalam Universal Declaration Of Human Rightsyang terdiri dari 30 pasal mengenai HAM tersebut.
2.      Hak-hak asasi manusia di Indonesia, secara mendasar pengatrurannya dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar dari segala peraturan perundangan yang ada di Indonesia. Segala sesuatu yang menyangkut soal hak dan kewajiban, memerlukan suatu tertib hukum begitu pula mengenai HAM. Antara HAM, UUD 1945 dan Pancasila terdapat hubungan yang sangat erat sekali. Hal ini dapat dilihat dari pembukaan UUD 1945 yang pada alinea pertamanya lebih menonjolkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan olrh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. UUD 1945 telah dapat mencakup prinsip-prinsip pokok bagi pengakuan hak-hak asasi manusia, seperti yang tersebut dalam “Universal Declaration Of Human Rights”
3.      Hak asasi manusia yang terutama adalah “hak untuk hidup”. Adanya the right to life ini dimaksudkan untuk melindungi nyawa seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang lain. Oleh karena itu masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan dokter atas permintaan pasien tersendiriatau keluarganya ataupun tindakan dokter yang membiarkan saja kepada pasien yang sedang sakit tanpa menentu itu, dianggap sebagai pelanggaran terhadap the right to life yang dimiliki oleh si pasien. Dalam hubungan ini, maka euthanasia dalam keadaan tertentu diperbolehkan untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia ini tetap dilarang. Masalah HAM ini bukanlah merupakan masalah juridis semata-mata tetapi juga bersngkut-paut dengan masalah nilai-nilai etihis, moral yang ada disuatu masyarakat tertentu.
4.      Masalah euthanasia yang biasa dikaitkan dengan suicide bila ditinjau dari dari segi agama jelas dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang terlarang.
5.      Pengaturan masalah euthanasia di Indonesia, satu-satunya hanya terdapat dalam pasal 344 KUHP.

B.     Saran-saran
1.      Secara garis besar, HAM sebagaimana tercantum dalam Universal Declaration of Human Righttelah tercakup prinsip-prinsip pokonya didalam UUD 1945 dan berbagai perundang-undangan Republik Indonesia lainnyayang merupakan hukum positif. Namun HAM tersebut saat ini baru merupakan moral rights dan belum merupakan positive rights yang dapat dituntut penaaatannya baik didalam maupun di luar pengadilan. Dalam undang-undang maupun dalam praktek hukum seghri-hari Indonesia benar-benar adalah Negara Hukum yang menghormati HAM.
2.      Indonesia tidak menganut prinsip euthanasia, yang berarti pula tidak mengakui the righ to die dari seseorang pasien.hal ini didasarkan atas alas an religious, bahwa masalah mati ini adalah kekuasaan mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa. Jadi Indonesia hanya mengkaui adanya the right to life saja yang sesuai dengan prinsip etik kedokteran Indonesia, yang selalu menghormati setiap hidup insani mulai saat terjadi pembuahan. disampin itu pidana mati dirasakan telah melanggar right to life dari warga Negara, yang selama ini sangat dihormati oleh Negara, baik nasional maupun internasional.
3.      Seandainya pidana mati tetap untuk dipertahankan di Indonesia, sebaiknya antara Pengadilan dan dunia kedokteran supaya agar disejajarkan, walaupun tidak secara mutlak.
4.      Agar supaya pasal 344 KUHP dapat diterapkan dalam praktek, maka sebaliknya dalam rangka ius constituendum hukum pidana, maka rumusan pasal 344 KUHP yang ada sekarang ini,perlu untuk dirumuskan kembali sehingga pasal 344 KUHP ini terasa lebih hidup dan dapat memudahkan bagi penuntut umum dalam pembuktiannya.

Asas-asas Hukum Perdata


PEMBAHASAN

A.    ASAS-ASAS HUKUM PERDATA
  1. SEJARAH HUKUM PERDATA BELANDA
            Setelah belanda merdeka dari penjajahan perancis, kemudian membuat kodifikasi hukum perdata.
            Meskipun BW ( Burgerlijk Wetboek) Belanda itu adalah kodifikasi hasil bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil Perancis.
  1. SEJARAH HUKUM PERDATA INDONESIA JAMAN HINDIA BELANDA
            Penjajahan Belanda diIndonesia mengusahakan berlakunya BW. BW Belanda diberlakukan diIndonesia berdasarkan asas Konkordansi (persamaan)
Tugas komisi Mr. G. C. Hageman:
a.       Mempersiapkan pekerjaan-pekerjaan yang dapat memidahkan berjalannya perundangan-undangan baru di Indonesia.
b.      Mengajukan asal usul tentang tindakan-tindakan yang berupa ketentuan-ketentuan yang dapat memperbaiki peradilan di Indonesia sehingga dapat memenuhi kebutuhan.
  1. HUKUM PERDATA DI INDONESIA
            KUHPer Indonesia secara historis perlu diperhatikan terjadinya perkembangaannya diBelanda karena adanya asas Konkordansi. Kodifikasi yang menciptakan KUHS dan KUHD adalah pelaksanaan dari asas politik hukum asas Konkordansi mengenai Hukum Perdata Barat, dengan demikian, hukum perdata diIndonesia berasal dari bahasa Belanda; Burgelijk Recht Hukum Perdata bersumber dari KUHPerdata (disingkat KUHPer). KUHPer juga berasal dari bahasa Belanda Burgelijk Wetboek yang disingkat BW.
Hukum Perdata diIndonesia adalah “berBhineka” atau “Pluralisme” sifatnya, yaitu beraneka ragam, sebab keberlakuan Hukum Perdata diIndonesia tetap ada keseragaman atau kesatuan. Misalnya ;
a.       Untuk golongan Bangsa Indonesia Asli
b.      Untuk golongan warga Negara bukan Asli Indonesia berasal dari Tionghoa dan Eropa
c.       Untuk golongan warga Negara bukan Asli berasal dari Tionghoa dan Eropa (Arab, Eropa)
d.      Dan golongan campuran

PENGERTIAN HUKUM PERDATA
            Macam – macam Hukum Perdata ;
  • Hukum Perdata Materiil
  • Hukum Perdata Formil
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
            KUHPer terdiri atas 4 buku ;
  • Buku I ; yang berjudul Perihal Orang (van personen)
  • Buku II ; yang berjudul Perihal Benda (van Zaken)
  • Buku III ; Yang berjudul Perihal Perikatan (van Verbinienissen)
  • BUKU IV ; yang berjudul Perihal Pembuktian dan Kadaluwarsa atau Lewat Waktu (van Bewijs en Verjaring)

B.     RUANG LINGKUP HUKUM PERDATA MATERIIL INDONESIA
  1. Bentuk dan Pembagian Hukum Perdata
            a. Menurut Bentuknya ;
o  Hukum Tertulis
o  Hukum Tak Tertulis
Kodifikasi
Kodifikasi ialah Pembukuan jenis-jenis buku tertentu dalam kitab Undang-Undang secara sistematis dan lengkap.
            Unsur Kodifikasi
            1. Jenis-jenis Hukum tertentu misalnya Hukum Perdata
            2. Sistematis
            3. Lengkap
Tujuan Kodifikasi
  1.  Kepastian Hukum
  2. Penyerderhanaan Hukum
  3. Kesatuan Hukum


Pembagian Hukum Perdata Menurut Asas- Asas Pembagiannya
  1. Menurut Sumbernya, Hukum Dapat dibagi dalam ;
ü  Hukum Undang- Undang
ü  Hukum Kebiasaan (Adat)
ü  Hukum Traktat
ü  Hukum Jurisprudensi
2. Menurut Bentuknya, Hukum dapat dibagi dalam ;
ü  Hukum Tertulis
ü  Hukum Tidak Tertulis (Hukum kebiasaan
4.      Menurut Tempat berlakunya, Hukum dapat dibagi dalam ;
  • Hukum Nasional
  • Hukum Internasional
  • Hukum Asing
  • Hukum Gereja
4. Menurut Waktu berlakunya, Hukum dapat dibagi dalam ;
  • Ius Constitutum (Hukum positif)
  • Ius Constituendum
  • Hukum Asasi (Hukum Alam)
Menurut Cara mempertahankannya, Hukum dapat dibagi dalam ;
v  Hukum Material
v  Hukum Formal (Hukum Proses atau Hukum   Acara)
6. Menurut Sifatnya, Hukum dibagi dalam ;
v  Hukum yang Memaksa
v  Hukum yang Mengatur (Hukum Pelengkap)
7. Menurut isinya, Hukum dapat dibagi dalam ;
v  Hukum Privat (Hukum Sipil)
v  Hukum Publik ( Hukum Negara)
Hukum Sipil dan Hukum Publik
Hukum Sipil
q   Hukum Sipil dalam arti luas terdiri
q  Hukum Perdata
q  Hukum Dagang
q   Hukum Sipil dalam arti sempit, yang meliputi ; Hukum Perdata saja
B. Hukum Publik (Hukum Negara)
q   Hukum Tata Negara
q   Hukum Administrasi Negara
q   Hukum Pidana
C. Hukum Internasional, terdiri atas ;
Ø  Hukum Perdata Internasional
Ø  Hukum Publik Internasional



Kamis, 14 Juli 2011

PudLy's Fugue


"Berawal dari mimpi, Ikhtiar dalam berjuang, Berharap dalam doa, Yakin dalam melangkah, syukur dalam hidup". ~Puteri~